Setelah kita menyimak uraian terakhir dari sub-bab di atas, maka kita dapat mempertanyakan kembali posisi Islam dalam kancah ilmu pengetahuan saat ini. Lebih khusus lagi tentu saja adalah posisi dari Sistem Ekonomi Islam, yang tengah kita perbincangkan ini, apakah bisa diterima dalam ranah ilmiah atau tidak?
Untuk dapat menjawabnya, yang menjadi pertauhan adalah menyangkut metode yang digunakan itu sendiri. Benarkah klaim dari para ilmuwan sekarang ini bahwa yang disebut “kebenaran” itu hanya dapat dihasilkan dari satu proses saja, yaitu hanya dengan metode ilmiah saja? Inilah yang sehausnya kita gugat dan kita pertanyakan kembali.
Inilah saatnya bagi kita untuk menjawabnya. Walaupun nampaknya sangat berat untuk melawan hegemoni dari dunia ilmiah ini, namun bukan berarti hal itu tidak bisa kita lakukan. Walaupun produk ilmiah saat ini telah mencengkeram dunia dengan berbagai kemajuan teknologi yang telah dicapainya, bukan berarti kita hanya bisa diam saja.
Apalagi sekarang ini sudah muncul sebuah anggapan bahwa siapapun enggan untuk memasuki dunia ilmiah ini, pasti akan tergusur dari percaturan peradaban manusia. Dia akan menjadi manusia terbelakang dan akan hilang dari peredaran kehidupan ini. Anggapan-anggapan inilah yang seharusnya kita hilangkan dari dalam benak kita.
Nah, sekarang marilah kita mulai memasuki area pertarungan ini. Ketika para ilmuwan berusaha untuk “memaksakan” metode ilmiah sebagai satu-satunya metode yang dianggap abash untuk meraik kebenaran, sesungguhnya hal itu merupakan langkah mundur manusia dari khazanah ilmu pengetahuan manusia.
Mengapa? Sebagaimana telah disinggung di atas, metode ilmiah sesungguhnya hanya merupakan salah satu cabang dari metode aqliyah. Metode ilmiah memang memiliki keunggulan, terutama kemampuan dalam mengungkap fenomena alam maupun dalam poses untuk menghasilkan tekologi. Namun demikian, metode ilmiah sesungguhnya memiliki banyak kelemahan. Apa kelemahan dari metode ilmiah ini?
Sebagaimana telah diuraikan di atas, keunggulan dari metode ilmiah ini adalah untuk kepentingan riset atau penelitian yang obyeknya bisa diuji dalam skala laboratorium. Sedangkan untuk obyek-obyek penelitian yang tidak bisa diuji dalam skala laboratorium, maka penggunaan metode ilmiah ini tentu akan sangat lemah. Sehingga kesimpulan ilmiah yang dihasilkan tentu akan sangat lemah, jauh dari kebenaran yang bersifat pasti (Athiyat, 1988).
Misalnya untuk penelitian yang obyeknya adalah fenomena sosial kemanusiaan dan sosial kemasyaakatan, maka penggunaan metode ilmiah adalah langkah yang terlalu dipaksakan. Sebab, fenomena sosial tidak bisa dibuat skala laboratoriumnya. Sedangkan penggunaan metode matematika sesungguhnya akan “mengebiri” fenomena kehidupan sosial itu sendiri. Fenomena sosial adalah fenomena yang sangat kompleks dan dinamis, sehingga sangat tidak layak jika harus diberangus dengan hanya sekedar model matematika.
Terlebih lagi untuk pengetahuan tingkat IV, yaitu yang berkaitan dengan obyek alam semesta dalam skala “mako kosmos”, maupun yang berkaitan dengan obyek yang bersifat “supra natural”. Tentu penggunaan metode ilmiah ini juga akan banyak mengandung kelemahan, untuk diharapkan bisa menghasilkan produk ilmiah yang bernilai pasti benar.
Apa yang seharusnya digunakan oleh manusia untuk melakukan pengkajian dan penelitian terhadap obyek-obyek seperti di atas? Jawabnya adalah: manusia seharusnya menggunakan metode aqliyah, bukan metode ilmiah. Mengapa? Dengan metode aqliyah inilah kebenaran yang besifat pasti akan bisa diraih oleh manusia. Sekaligus, kita juga dapat mengoreksi kesalahan dari kesimpulan-kesimpulan ilmiah produk metode ilmiah tersebut.
Apa contohnya? Contohnya adalah Teori Big Bang. Dengan menggunakan metode aqliyah, sesungguhnya dengan mudah kita dapat menggugat keilmiahannya. Misalnya, ketika teori ini mengatakan bahwa proses asal-muasal kejadian alam semesta ini berasal dari sekumpulan kabut (debu) di alam raya ini, yang kemudian mengalami perputaran dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga terjadilah ledakan yang maha dahsyat. Jika teori ini dianggap teori asal-muasal alam semesta, dengan hanya menggunakan ada dua pertanyaan saja, maka teori ini akan dapat gugur dengan sendirinya. Pertanyaan tersebut adalah:
1. Jika teori ini dianggap sebagai teosi asal-muasal alam semesta, pertanyaannya: darimana asal-muasal debu yang di alam raya tesebut? Mengapa tiba-tiba sudah ada debu? Jika tidak dapat menjawabnya, apakah teori ini layak dianggap sebagai teori asal-muasal alam semesta.
2. Selanjutnya, mengapa sekumpulan debu yang semula diam itu tiba-tiba bergerak, berputar, bahkan sampai pada perputaan dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan ledakan yang sangat besar. Pertanyaannya: siapa yang menggerakkan sekumpulan debu tersebut? Energi yang begitu besar dan maha dahsyat itu sendiri berasal dari mana? Mengapa sekumpulan debu yang semula diam terus-menerus itu kemudian tiba-tiba berputa? Apakah tidak ada penyebabnya? Jika ilmuwan tidak bisa menjawab apa penyebabnya, maka teori ini tidak layak untuk dikatakan sebagai teori yang masuk akal.
Demikianlah, hanya dengan menggunakan metode aqliyah yang sederhana saja sudah cukup untuk menumbangkan Teori Big Bang ini. Penggunaan metode aqliyah ini tidak perlu menggunakan eksperimen ilmiah dalam skala laboratorium. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa Teori Big Bang adalah teori yang terlalu dipakasakan oleh para ilmuwan. Kita patut mencurigai, bisa jadi ada sebuah agenda tersembunyi dari para ilmuwan dalam membangun teoi ini. Apa agendanya? Agendanya tidak lain adalah agar keberadaan Tuhan itu bisa hilang dari kancah perbincangan ilmiah.
Demikian juga untuk Teori Darwin. Apakah penemuan fosil kuda dari beberapa lapisan permukaan bumi ini bisa disimpulkan sebagai urutan evolusi dari kuda secara pasti? Menurut metode aqliyah sebagaimana diuraikan di atas, jawabnya adalah: mungkin saja benar, namun mungkin juga bisa salah (jaiz aqli). Mengapa?
Sebab, menurut akal manusia, mungkin saja fosil-fosil itu adalah binatang yang berbeda-beda, bukan hanya satu jenis binatang kuda yang terus-menerus mengalami proses evolusi. Mungkin saja pernah ada kuda yang memiliki kaki seperti jari manusia yang pernah hidup di zaman tertentu dan ada pada lapis bumi tertentu, kemudian punah. Zaman berikutnya ada hewan lain yang memiliki kaki dengan beberapa bentuk jari yang memang lebih pendek, yang hidup pada lapis bumi di atasnya, kemudian punah. Demikian seterusnya.
Dengan demikian, menurut metode aqliyah, nilai kebenaran teori Darwin sangat lemah, tidak bisa untuk dikatakan sebagai teori yang pasti benar. Seharusnya teori yang sangat lemah ini tidak dengan mudahnya digunakan untuk “menyerang” keberadaan Tuhan dalam menciptakan bermacam-macam jenis dan bentuk makhluk, termasuk juga peran Tuhan dalam penciptaan manusia.
Bagaimana dengan Hukum Kekekalan Materi dan Energi, yang kerap digunakan oleh para ilmuwan untuk menolak keberadaan Sang Pencipta, termasuk terjadinya Hari Kiamat? Untuk menggugurkan hukum ini sesungguhnya juga sangat mudah. Jika manusia dapat menyimpulkan secara pasti (dengan metode aqliyah), bahwa Tuhan itu pasti ada, maka hukum kekekalan materi dan energy itu hanya berlaku untuk manusia atau antar materi yang ada di alam semesta ini saja. Hukum ini tentu tidak berlaku untuk Tuhan, Sang Maha Pencipta. Mengapa?
Tidak berlakunya hukum itu bagi Tuhan, adalah karena Tuhan adalah Sang Pencipta dari alam semesta ini. Bagi Tuhan, untuk menciptakan materi dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, adalah sangat mudah, berapapun materi yang Dia mau. Termasuk juga untuk memusnahkan materi tersebut, sebagian maupun seluruhnya, maka hal itu adalah sangat mudah bagi Tuhan.
Dengan demikian, yang menjadi tantangan sekarang ini adalah: mampukah manusia membuktikan adanya Tuhan (pengetahuan tingkat IV) dengan menggunakan metode aqliyah hungga memperoleh kebenaran yang nilainya pasti benar (wajib aqli)? Jika pertanyaan ini mampu dijawab oleh manusia, maka manusia akan mampu meraih pengetahuan tingkat IV, yaitu pengetahuan tentang hakikat asal-muasal dari manusia, alam semesta dan kehidupan di dunia ini dengan nilai kebenaran yang pasti.
Metode Aqliyah, sebagaimana telah dibahas di atas dapat digunakan untuk mencari kebenaran dari fakta-fakta yang bersifat ghaib, dengan syarat harus ada dalil-nya. Selanjutnya dari dalil yang diperoleh tersebut, akal manusia dapat memikirkan dengan akalnya untuk mencari kesimpulan yang nilainya pasti benar.
Sekarang, marilah kita mengumpulkan seluruh dalil yang mampu kita indera secara langsung. Dalilnya kembali kepada obyek yang hendak kita cari hakikatnya, yaitu keberadaan manusia, alam semesta dan kehidupan itu sendiri. Mengapa dalilnya hanya 3 obyek tersebut? Itulah kemampuan maksimal yang bisa dicapai oleh indera manusia untuk mendapatkan dalil. Manusia tidak mampu mengindera diluar ketiga obyek itu, seperti keberadaan surge, neraka, malaikat, jin, setan, hantu dsb. Selanjutnya, akal kita dapat bekerja untuk mengamati ketiga obyek dalil tersebut (An-Nabhani, 1953):
1. Manusia
Dalil pertama adalah manusia. Jika kita mengindera manusia, apa yang bersifat pasti dari manusia itu? Jika kita mau mengamati dengan seksama terhadap fakta manusia, maka akal kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh manusia itu pasti bersifat terbatas. Apa maksudnya? Manusia pasti bersifat terbatas itu maknanya sangat luas. Terbatas bisa bermakna bahwa semua manusia itu ada awalnya dan ada akhirnya. Tidak ada manusia yang kekal, hidup terus, tidak berawal dan tidak pernah berakhir. Semua manusia pasti terlahir dan semua pasti mati. Itulah fakta yang mampu disimpulkan oleh akal manusia.
Terbatas juga bisa bermakna kehendaknya yang tidak mutlak. Manusia bisa mempunyai banyak keinginan, namun hanya sedikit yang bisa dia wujudkan. Kalau dia terlahir jadi manusia yang berkulit hitam, maka sangat sulit baginya untuk menjadi putih. Jika dia orang yang pendek, maka sangat sulit kalau ingin jadi orang yang tinggi dan seterusnya.
Manusia juga tidak mampu mengendalikan seluruh organ tubuhnya. Jantungnya terus berdetak dari sejak dalam kandungan, tanpa dia perintahkan. Namun, jika jantungnya berhenti, dia juga tidak mampu berbuat apa-apa. Manusia tidak mampu mengatur proses perjalanan makanan yang masuk dalam tubuhnya. Manusia tidak mampu mengontrol secara langsung proses-proses metebolisme yang berlangsung dalam dirinya, dsb.
Terbatas juga bisa bermakna tidak bisa berdiri sendiri. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia hidupnya sangat tergantung dengan makhluk lain, tergantung dengan benda yang lain, tergantung dengan unsur-unsur lain. Manusia hidupnya membutuhkan makanan, minuman, oksigen, mineral, vitamin dan sebagainya. Manusia juga membutuhkan manusia lain, makhluk lain, binatang, tumbuh-tumbuhan, dsb.
2. Alam Semesta
Dalil kedua, yaitu alam semesta. Jika kita mau mengamati seluruh isi alam semesta, maka kesimpulannya juga sama, yaitu pasti bersifat terbatas. Sebab, alam semesta itu merupakan kumpulan dari benda-benda angkasa yang semuanya bersifat terbatas. Terbatas itu juga bermakna luas.
Terbatas bisa dilihat dari bentuknya. Benda-benda angkasa itu terbatas, karena terbatasi oleh bentuknya masing-masing. Benda-benda angkasa yang berbentuk bulat, maka selamanya dia berbentuk bulat, mereka tidak pernah bisa berubah menjadi kubus dan mereka juga tidak mempunyai “keinginan” untuk merubah bentuk dirinya. Mereka juga terpaksa beredar dalam orbitnya masing-masing. Selama bermilyar-milyar tahun tetap seperti itu, tanpa bisa melawannya. Seluruh benda angkasa hanya bisa tunduk dan patuh pada ”sesuatu” yang mengatur dirinya.
Seluruh benda angkasa juga terpaksa berputar pada porosnya (berotasi) dengan arah perputaran yang berlawanan dengan arah jarum jam. Tidak ada yang bisa melawan arah perputaran tersebut, dengan arah yang berlawanan. Demikian uga ketika seluruh benda-benda angkasa itu bergerak (berevolusi) pada orbitnya, mereka terpaksa juga bergerak dengan arah yang sama, yaitu berlawanan dengan arah jarum jam.
Seluruh benda angkasa di jagad raya ini jika diamati dengan seksama ternyata semua pergerakannya adalah sama. Hal itu terjadi tidak hanya pada benda angkasa yang besar, bahkan mulai dari unsur-unsur penyusun benda yang paling kecil sekalipun, yaitu atom, ternyata ada gerakan yang sama. Di dalam atom ada gerakan electron mengelilingi proton dengan kecepatan yang sangat tinggi, dengan arah gerakan yang sama, yaitu berlawanan dengan arah jarum jam.
Sehingga, jika manusia mau mengamati terhadap keseluruhan pergerakan materi dan benda-benda angkasa yang jumlahnya sampai berbilyun-bilyun, semuanya bergerak dengan pola gerakan yang sama, sangat teratur dan dengan gerakan yang sangat harmonis. Tidak ada kekacauan, tidak ada kekisruhan, tidak ada perbenturan dan tidak ada yang melakukan perlawanan. Semuanya tunduk dan patuh, tanpa ada yang bisa mbalelo.
Dengan demikian, seluruh benda-benda angkasa itu dapat disimpulkan mempunyai sifat yang pasti, yaitu bersifat terbatas, bersifat teratur, saling membutuhkan, tidak bisa berdiri sendiri, kehendaknya bersifat tidak mutlak. Alam semesta semuanya tunduk pada “sesuatu” yang lain, Yang Maha Mutlak, Yang Maha Mengatur dsb, sebagaimana keadaan dan sifat yang ada dalam diri manusia.
3. Kehidupan
Dalil yang ketiga adalah kehidupan. Seluruh kehidupan yang ada di alam ini juga pasti bersifat terbatas. Semua kehidupan itu bersifat individual. Semua makhluk hidup itu ada awalnya dan ada akhirnya. Kehidupan itu juga berawal dan berakhir untuk dirinya sendiri. Tidak pernah ada kehidupan yang bisa lebih dari dirinya sendiri. Tidak ada makhluk hidup di alam ini yang bisa memberikan hidupnya untuk makhluk yang sudah mati atau untuk benda mati. Hidupnya hanya satu dan hanya untuk dirinya sendiri.
Dengan demikian, semua kehidupan yang ada di alam ini juga bersifat sebagaimana manusia dan alam semesta di atas yaitu pasti bersifat terbatas, lemah, membutuhkan yang lain, tidak bisa berdiri sendiri, kehendaknya bersifat tidak mutlak dsb. Itulah kesimpulan yang dapat dibuat oleh akal manusia dengan menggunakan metode aqliyah.
Jika manusia, alam semesta dan kehidupan ini pasti bersifat terbatas, maka apa kesimpulan yang bisa kita tarik? Kesimpulannya adalah: manusia, alam semesta dan kehidupan ini mustahil bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Jika mereka mustahil azali, maka apa yang pasti? Kesimpulan yang pasti menurut akal manusia adalah: mereka pasti ada Penciptanya.
Itulah kesimpulan yang pasti benar menurut akal manusia, dengan menggunakan metode aqliyah. Kesimpulannya adalah: manusia, alam semesta dan kehidupan ini pasti ada Penciptanya. Selanjutnya, jika akal manusia ditanya lebih lanjut: siapa nama Pencipta itu? Maka, semua jawaban yang dibuat akal manusia nilainya adalah: mungkin benar, mungkin salah (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, dalilnya hanya mengamati manusia, alam semesta dan kehidupan saja.
Jika manusia membutuhkan jawaban yang nilainya pasti benar, tentang siapa sesungguhnya nama dari Pencipta alam semesta ini, maka menurut metode aqliyah manusia itu masih memerlukan dalil tambahan. Jika tidak ada dalil tambahan, maka kesimpulan maksimal yang dapat dicapai akal manusia akan berhenti pada: pasti ada Penciptanya. Akal manusia tidak bisa mendapatkan jawaban yang lebih dari itu. Sebagaimana kesimpulan yang bisa kita ambil dari dalil telapak ban dan sebuah bangunan rumah, yang telah kita bahas sebelum ini.
Bagaimana manusia dapat memperoleh tambahan dalil dengan nilai yang pasti benar? Disinilah manusia membutuhkan pengetahuan yang lebih tinggi lagi, yaitu pengetahuan tingkat V. apa pengetahuan tingkat V itu? Jawabannya ada pada pembahasan sub-bab berikut ini.
0 komentar:
Posting Komentar